Dengan perkembangan gadget atau peralatan/perlengkapan fotografi saat ini, sangat
memungkinkan siapapun bisa memotret. Bisa memotret dengan mudah, dengan lebih murah,
dan dengan cepat mendapatkan hasil foto yang lebih baik. Dengan cukup memiliki kamera
digital pocket biasa saja, siapapun bisa memotret sepuasnya. Tak perlu kamera SLR/DSLR
lagi. Apalagi yang sudah punya SLR/DSLR harusnya bisa lebih mantab bukan?!
Nah, dengan kondisi ini, akhirnya memunculkan prinsip baru dalam dunia fotografi, yaitu
“prinsip asal jepret“. Maksud saya, jeprat-jepret dulu saja, hasil belakangan. Kebiasaan yang
ada, jika dilihat di layar LCD kamera kurang bagus, langsung hapus! Terus, tinggal jepret lagi
dan lagi deh…
Terus, ada lagi. Jika kurang puas dengan hasil dari kamera langsung, foto digital bisa dengan
mudah diolah dengan piranti atau software pengolah gambar, seperti Photoshop yang paling
familier. Nah, bagi yang ingin serius mendalami dunia fotografi, hati-hatilah dengan prinsip
ini (prinsip asal jepret). Kalau ikut-ikut prinsip ini, kita bisa-bisa malah bukannya jadi
fotografer profesional (ini bagi yang ingin serius belajar fotografi lho…), tapi nanti malah jadi
DI-ers, atau seorang pengolah gambar (digital imageer? photoshoper? digital imaging art?
atau apalah sebutannya). Tapi itu sih pilihan, tergantung kitanya mau gimana…
--
Oleh karena itulah, saya kali ini ingin sedikit mengulasnya sebagai bahan diskusi kita lebih
lanjut. Dalam judul, saya tuliskan “Foto Murni vs Digital Imaging“.
Lalu apa maksud saya?
“Foto Murni” itu adalah foto
asli yang dihasilkan langsung
dari kamera, baik kamera
analog, semi-analog, maupun
digital, tanpa editan atau olahan
sama sekali. Foto seperti ini
murni/asli karya dari hasil
hitungan teknis di kamera yang
tepat. Pokoknya original deh!
contoh foto murni dari kamera
(photo by risman sawaludin)
Sedangkan, untuk “Foto DI
(Digital Imaging = olah digital)
adalah foto yang sudah diedit
atau diolah dengan
menggunakan piranti atau software pengolah gambar, seperti Photoshop, Lightroom,
ACDsee, dan lain sebagainya. Bahkan, tempat/lokasi, moment, atau apapun yang sebenarnya
tidak ada di dunia ini, menjadi ada dengan diolah sedemikian rupa.
Mengulas soal ini, bukan berarti saya termasuk fotografer yang anti olahan.
Tidak ada yang salah dengan dua jenis karya foto ini. Tidak ada yang buruk salah satu atau
dua. Keduanya baik dan sangat dibutuhkan, baik yang murni maupun yang DI. Namun, yang
harus kita perhatikan ketika kita ingin serius menggeluti dunia fotografi adalah, ini menurut
saya lho, langkah awalnya adalah tetap mengutamakan terlebih dahulu menghasilkan foto
yang terbaik dan semurni mungkin dari kamera kita. (INGAT, ini khusus bagi yang ingin
mendalami fotografi dengan modal kamera yang kita miliki)
Jadi, mari kita kuasai betul-betul dengan detil gadget atau peralatan kamera yang kita miliki.
Hitung, pertimbangkan, dan seriusi kamera kita. Sisi pencahayaan (lighting), komposisi
(compotition), angle, saturation, diafragma, white balance (WB), dan lain sebagainya.
Yakinkan terlebih dahulu, bahwa kita telah benar-benar bisa menghasilkan foto terbaik seperti
yang kita butuhkan. Jawablah pertanyaan mendasar ini sebelum kita memotret;
Untuk kita buat apa foto yang kita hasilkan?
Mau digunakan untuk apa?
Atau, mau diapakan hasil foto kita setelah kita jepret?
Nah, setelah itu terjawab, dan yakin bahwa hasil kita telah sesuai dengan yang kita butuhkan,
baru kita bermain di software pengolah gambar sesuai kebutuhan selanjutnya.
Bayangkan saja, kalau kita diawal sudah menghasilkan foto yang cukup baik, maka olahannya
pun lebih mudah dan lebih cepat bukan? Ngeditnya lebih ringan, lebih sedikit, dan tak butuh
waktu lama di depan komputer.
contoh foto olahan (photo by risman sawaludin)
kesalahan minor, seperti wajah sedikit berjerawat perlu kita kurangi, foto yang sedikit gelap
perlu kita seimbangkan cahayanya, komposisi yang kurang pas perlu kita crop, pengaturan
kontras perlu kita atur level dan colornya, dan lain sebagainya.
Sehebat apapun kita punya keahlian olah digital, jika foto yang ingin kita olah ‘dibawah
standar’ atau, katakan saja buruk, dijamin pasti jengkel rasanya kita di depan komputer kan?
Bisa-bisa seharian kita di depan komputer hanya untuk ngolah satu foto.
Entahlah, semoga saja ini hanya pendapat saya yang masih awam ini. Dan, semoga saja saya
salah. Tapi semoga tetap bermanfaat ya… hehe… ☺
Tidak ada komentar:
Posting Komentar